Dunia
mulai berkembang. Bumi yang aslinya tidak rata, semakin tambah tidak rata.
Semakin semrawut dengan apa yang ditemukan manusia. Manusia semakin cerdas,
semakin berkembang pemikirannya. Ya manusia, menemukan hal-hal baru yang dulu
tak ada. Tak ada lagi kemustahilan. Manusia tak hanya membayangkan apa yang
akan terjadi pada masa yang akan datang tapi sudah mulai menemukan garis-garis
pembuktian. Manusia berkhayal, bermimpi, melakukan pembuktian dan menjadi
kenyataan. Itu manusia pada umumnya.
Pada umumnya. Mereka cerdas, mereka bisa. Berbeda
dengan aku. Sangat berbeda.
Waktu
itu, aku masih menjadi manusia normal pada umumnya. Manusia normal versiku sendiri. Mungkin istilah manusia
normal versiku, berbeda dengan versi lainnya. Menurutku, manusia normal pasti
memiliki suatu keinginan, impian, khayalan dan harapan. Itu aku.
Dulu.
Bumi
berputar, waktu pun ikut berjalan. Aku tumbuh semakin dewasa. Duniaku pun ikut
berubah. Dulu aku,memakai baju putih abu-abu, kini aku tanpa seragam, menginjak
dalam salah satu perguruan tinggi negeri ternama di negeri ibu pertiwi, setiap pagi. Seharusnya aku bangga, aku menjadi
seorang yang diharapkan negeri. Ya,menjadi seorang sarjana. Lagi-lagi aku
berbeda, aku merasa tak berguna di sini. Dunia baruku, mengubah segalanya.
Dunia ini penuh dengan realistis. Bahh.. aku tak suka.
Harapan Negara menjadi seorang
sarjana. Hal itu mudah saja aku lakukan, aku lulus, wisuda, dapat ijazah.
Selesai, aku menjadi sarjana, aku bisa bekerja. Apa iya semudah itu? Ilmu yang
aku ambil tak semudah itu, begitu pula pasar kerjanya. Dunia realistis dimulai.
Lagi-lagi aku harus berfikir realistis. Aku kehilangan arah, aku kehilangan
tujuan. Aku tak mau bekerja, lantas aku harus menjadi apa? Aku punya cita-cita.
Dulu. Apa iya aku bisa wujudkan sekarang. Meraih sebuah nobel. Setiap aku
bercerita tentang apa cita-citaku ini,semua menertawakan. Lantas aku
berfikir,realistis sekali lagi. Untuk lulus dan dapet kerja aja susah. Apalagi
harus wujudkan keinginan mustahil itu. Sedikikt demi sedikit cita-citaku
terkubur. Jauh dalam dibawah sana.
Dunia kejam, benar-benar kejam. Tak
hanya mengubur cita-cita mustahilku, tapi mengubur cita-citaku yang lain. Aku
benar-benar gila. Semua berasa hampa. Rutinitasku setiap hari seakan tak berguna. Aku membuat tugas, aku membuat laporan yang
tak terhitung jumlahnya seakan sia-sia. Parahnya, aku menjadi semacam robot
yang tak bisa bebuat apa-apa. Aku diatur oleh suatu
rutinitas yang aku
sendiri tak mengerti apa
maksudnya. Aku muak. Apakah ini suatu keadilan? Aku tak mengerti.
Dunia memang fana. Tak ada titik
jelas yang sanggup menentukan dimana kejelasannya. Tidak, itu hanya kata-kata
seorang pecundang sepertiku. Aku, aku dan lagi lagi aku. Aku tak pernah bisa
menikmati hidupku lagi. Keceriaan, impian, harapan, semua telah terkubur
dalam-dalam. Berfikir realistis sekarang yang hanya aku bisa lakukan.
Ditengah dunia relistis yang mulai
membunuh perlahan akan mental dan semangat. Aku sering teringat masa-masa lalu.
Masa-masa dimana aku penuh dengan kegembiraan, masa dimana aku bermimpi dan
yakin akan menjadi suatu kenyataan. Masa dimana semua orang mendukungku dengan
senyum tulus yang aku artikan sebagai sebuah doa dan harapan. Masa dimana aku
mempunyai banyak orang yang aku sayang. Ahh.. masa yang tak ingin aku tinggalkan.
Kini, aku telah berada dalam masa
yang berbeda, dunia yang tak lagi sama. Dunia yang mendekati kenyataan. Tak
banyak aku temukan orang-orang yang tersenyum tulus dan mendengarkan dan
cita-cita dan keinginan yang aku sampaikan. Mereka sibuk dengan dunia mereka,
sendiri. Bagi mereka,celotehan tidak jelas tak pentinglah artinya. Tugas,
laporan kelar, itu lebih utama. Aku membutuhkan seseorang. Aku membutuhkan
penyemangat. Tapi, lagi-lagi itu siapa? Aku tak mengerti akan jawabnya.
Perlahan, aku tetap melangkah
menjalani hari-hariku. Sepi, hampa, tanpa harapan, tanpa kepastian. Tetap
berdoa untuk mendapatkan titik terang.
Mencari tahu akan tujuan aku ada di dunia. Itu bukanlah hal yang mudah, aku
harus bersaing dengan segala kenyataan yang memang benar adanya. Aku mulai
tersadar. Hidup di dunia itu kenyataan.
Tiba-tiba
aku teringat, beberapa bulan lalu aku konsultasi ke dosen pembimbingku. Masa itu aku masih tertutup akan dunia
realistis, masih enggan menyinggung itu semua. Aku masih mengantunkan cita-citaku
jauh disana. Masih ada cahaya yang aku temukan dari serpihan kegelapan. Aku
berdiskusi banyak tentang pencapaian targetku untuk dapat wujudkan cita-cita
konyolku. Seperti yang aku harapkan, dosen pembimbingku mendukungku. Tulus.
Beliau menasehati, masalah paling umum yang sering terjadi bagi mahasiswa biasanya adalah masalah percintaan. Waktu
itu,aku menganggap itu angin lalu. Lagi-lagi masih terkait mimpi konyolku.
Bagiku itu belum waktunya. Aku masih sibuk dalam dunia khayalku, aku belum
terpengaruh dengan dunia realistis yang begitu kejam. Masih terbayang-bayang
akan celotehku waktu masih berseragam abu-abu. Aku ingin menemukan pangeranku
di Jepang, ketika aku menuntut ilmu di sana,tentunya
dengan beasiswa.
Lagi-lagi aku tak lagi bermimpi, aku
masih dalam dunia realistis, yang entah sampai kapan aku akan siap
menghadapinya. Apa tadi celotehku, mencari pangeran di Jepang? Lucu mungkin,terlalu berharap
lebih tepatnya. Tapi, entah itu keinginanku dulu.
Rasanya asyik, bercerita tentang apa
itu yang namanya cinta, bercerita tentang orang yang disuka. Tapi dulu, ketika
aku masih sibuk dengan dunia khayalanku,aku belum begitu peduli dengan dunia
realistis,menurutku itu biasa aja. Aku masih terkekang dengan idealismeku,
jodohku engga disini. Aku masih ingin bermimpi.
Tidak, aku sudah tak dapat lagi
bermimpi. Apa? Kuliah di Jepang? IP semesterku ini saja sudah aku pertanyakan.
Apa kabar dengannya? Hancur, kataku dalam hati. Aku sempat opname di rumah
sakit selama beberapa hari. Bukan sakit karena penyakit yang aku rasakan, akan
tetapi, rasa sakitku kenapa Tuhan memberikanku ujian diwaktu-waktu seperti ini?
Apa tidak dapat ditunda? Waktu banyak laporan dan tugas yang harus aku
kerjakan. Ditambah waktu dimana dosen-dosen secara bebarengan memberikan kuis yang
tentunya tak dapat aku kerjakan. Belum lagi, ketika aku belum begitu sembuh,
aku masih harus mengerjakan soal-soal ujian tengah semester. Waktuku terbatas,
aku masih harus menjaga kondisiku agar tak kembali sakit, tak kembali
merepotkan orang-orang yang aku sayang, tapi aku tak tahu harus melakuan apa
untuk membalas mereka. Aku tambah tak
yakin. Hati ini tambah sakit. Menyakiti semua orang yang aku sayang, tanpa bisa
berbuat apa-apa.
Kemudian aku berfikir, apa memang
itu takdirku, aku tak boleh mendapatkan itu semua? Apa aku tak pantas? Ataukah
aku masih kurang berdoa? Aku tak mengerti, tapi aku mulai merasakan dunia
kenyataan sedikit demi sedikit telah membunuhku. Perlahan.
Tepat pada masa-masa kritis ini,
semua khayalan dan impian tak lagi dapat aku rasakan. Begitu pula khayalan
tentang pencarian pangeran di Jepang pun mulai memudar. Seseorang tiba-tiba
datang. Orang itu muncul, memutar balikkan prinsip yang sudah tertanam
sejak lama. Entah ada
apa dengan orang
itu.
Semenjak orang itu datang, banyak
hal bergejolak dalam diriku. Antara senang, bahagia, tapi masih bimbang.
Bimbang akan semua khayalan yang sudah tertanam sejak lama, bimbang karena aku
tak lagi menemukan jati diriku yang dulu. Harapan menemukan pangeran di Jepang
seolah sirna, seakan berkata dari tubuh orang itu “tak perlu ke Jepang, akulah
pangeran yang kau cari”. Lagi-lagi aku berkhayal. Yah, hobiku memang suka berkhayal.
Khayalan, mimpi dan cita-cita.
Hadirnya orang itu, membuat aku mulai berani bermimpi. Mimpi kecil, aku kenal
dia, menjadi teman akrabnya. Tidak, secara naluriah, aku berkata, jika dia
memang imamku di surga, aku ingin mendapatkannya. Lagi-lagi aku berkhayal.
Sekali dua kali kita bertemu,
bertatap muka. Melempar senyum dan membalasnya. Hal kecil dan sangat sepele. Begitu
berharga ketika aku jatuh cinta. Aku, aku jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta.
Melupakan semua bangkangan pesan nasihat dari dosen pembimbingku dulu. Aku
bertemu pangeranku, di sini, tidak di Jepang. Tidak di Jepang Tuhan.
Hadirnya sosok orang itu,
menyadarkanku akan sikap khayalan dan realistis yang selama ini aku bimbangkan.
Bersikap realistis tak selamanya buruk. Setidaknya aku merasakan indahnya cinta
yang telah lama aku lupakan.
Hari demi hari, hidupku seakan
indah, walau aku belum mengenal orang itu secara mendalam, setidaknya aku
merasakan aku ada di sini. Aku bahagia. Aku senang, aku gembira. Bebanku akan
tujuan hidup seakan sirna. Aku mulai menyukai rutinitasku. Aku tak tahu apa
yang terjadi dengan diriku. Aku telah berubah.
Aku merasakan semangat pergi ke
kampus. Aku tersenyum bahagia. Aku bercerita dengan teman-teman satu kampus.
Aku suka orang itu. Teman-temanku ikut bergembira, bukan ikut senang atau apa,
tapi ada bahan ledekan katanya. Aku tak peduli dengan itu semua. Aku bahagia.
Aku melupakan dunia realistis yang selama ini aku khawatirkan.
Orang itu tak hanya membuatku tersenyum senang, tersenyum
bahagia. Perlahan aku mulai mengerti dan memahami akan dunia realistis. Dunia
kelam menurutku dulu. Aku tak mengerti, ini kebetulan atau memang benar. Dunia
realistis tak selamanya menyeramkan.
Waktu berselang, waktu beganti.
Entah karena apa, ada hal yang mengajakku untuk segera bersadar. Aku harus tahu
siapa dia. Iya, siapa dia. Pelan-pelan aku mencari informasi tentangnya. Aku
sadari, aku telah jatuh cinta, tapi bukan cinta yang seutuhnya. Aku masih
membiarkan diriku membahana, untuk mencari tahu lebih lanjut tentang dia. Hal
yang paling mendasar, ada siapa dibalik dirinya.
Perlahan, aku masih bersenang. Satu
dua informasi masih positif. Tak ada tanda-tanda ada orang lain dibalik
dirinya. Aku girang. Namun, lagi-lagi dunia menuntutku untuk berfikir
realistis, menyadari semua yang ada. Dunia penuh dengan kenyataan, bukan
khayalan. Seharusnya aku terlebih dahulu sadar, siapa dia, bagaimana
kedudukannya. Aku terlalu bodoh mencintai seseorang yang jelas menjadi bintang
pujaan. Aku seharusnya hanya sekedar menyukainya, tanpa rasa lebih. Lagi-lagi
seharusnya. Aku terlalu suka berkhayal. Aku lupa akan dunia realistis yang
telah ada. Tak mungkin seorang pujaan wanita, sendiri dalam hidupnya. Tanpa
diminta pasti para wanita sudah banyak yang bersedia menemaninya. Tentu saja
wanita itu bukan wanita biasa. Tidak seperti aku, gadis kecil tak berguna.
Sekali lagi aku tersadar, ini dunia realistis. Khayalanku tak lagi bermakna.
Satu dua hari aku tak mengerti, aku
patah hati. Hati in mungkin tidak terlalu sakit kehilangannya. Aku belum begitu
mengenalnya. Tak sepantasnya aku harus terus memikirkan seseorang yang jelas bukan seharusnya aku pikirkan. Aku bangkit,
aku berusaha melupakannya. Namun, aku bersyukur diketemukan Tuhan dengan orang
itu. Langsung tidak langsung, sadar atau tidak, aku belajar banyak dari
dirinya. Aku menemukan sedikit titik terang dari dirinya. Aku merasa
berterimakasih dengan orang itu. Rasa terima kasih yang aku sendiri tak yakin
akan mengucapkan secara langsung dengannya.
Garis-garis penghubung yang aku dulu
kira sudah lenyap, perlahan mulai terlihat berwarna, bercahaya. Nama marga yang
kebetulan sama, yang aku tak yakin apa maknanya, sudah aku kubur dalam. Bukan
nama marga yang mengantarkan aku dengan pangeranku. Bukan pula hidung
mancungnya. Orang itu, benar-benar mendidikku untuk bersikap dewasa, menghadapi
dunia realistis tanpa meninggalkan dunia mimpiku. Aku juga tak tahu, bagaimana
energi itu tiba-tiba ada.
Semenjak aku tahu, ada sosok istimewa dibalik orang yang
aku suka, aku lantas sedikit berfikir realistis. Hidup itu butuh cinta. Ya, aku
membutuhkan cinta. Aku kadang iri dengan mereka, tapi aku lebih membutuhkan sosok imam keluarga
yang akan mengantarkanku ke surga. Entah siapa orangnya, aku belum mengenalnya.
Aku kurang tahu tepatnya.
Mungkin, lagi-lagi aku berkhayal. Aku akan
mendapatkannya. Aku akan mendapatkan orang itu. Bukan dia, tapi dia yang
lainnya. Bukan perkara mudah aku mendapatkan orang yang memang ditakdirkan
menuntunku ke surga. Tapi disinilah aku mulai menemukan garis-garis terang itu.
Benar, aku harus mendapatkannya. Aku tidak hanya menemukan jalan untuk
mendapatkan sosok seorang suami yang aku idamkan. Aku mendapat garis-garis
penghubung dunia khayalku dengan dunia realistis. Aku mengingat pesan dari
media “Jodoh itu tidak datang dengan sendrinya, melainkan harus dicari dengan
usaha dan doa”. Aku mulai mengerti, apa maksud usaha disini. Aku harus melayakkan
dan memantaskan diriku dengan sosok seorang itu. Tentu saja dengan usaha.
Khayalanku kini ada tujuannya. Aku tak lagi memikirkan
diriku sendiri. Aku memikirkan calon imamku kelak. Aku tak mau kalah dengan
suamiku, aku tak mau kalah dengan anak-anakku jika aku hanya berdiam
disini,menikamati dunia realistis yang aku pun tak suka. Aku malu. Aku harus menghadapinya. Aku harus bisa wujudkan cita-citaku, mimpiku,
khayalanku. Aku harus bisa, termasuk mendapatkan beasiswa studi S2 ke Jepang.
Bukan itu saja, aku tak mau menyia-nyiakan hidupku di dunia. Aku harus
bermanfaat untuk orang lain, aku harus
dapat menyumbang sesuatu untuk bumi ini. Semua mimpiku harus menjadi nyata.
Garis-garis yang aku pikir akan memudar, semakin jelas
dan semakin bercahaya. Sikap penolakan dunia realistisku mulai sirna, aku mulai
menikmati hidupku. Memulai mencari-cari garis penghubung lain yang akan
mengantarkan pada titik terang. Aku mulai mengikuti berbagai lomba. Baru satu
yang lolos seleksi, tapi itu tak memudarkan semangatku. Aku semakin yakin masih
banyak didepan sana. Aku dapat bersaing, aku dapat menemukan penemuan baru, aku
akan mendapatkan nobel itu.
Penawaran beasiswa yang terpampang di mading kampusku,
aku iseng-oseng mencoba. Berkas-berkas aku lengkapi dan aku kirimkan tepat pada
waktunya. Sebulan setelah itu, aku membuka web pemberi beasiswa. Aku tak
percaya, namaku terpampang didepan sana, aku lolos tahap selanjutnya. Lagi aku
menemukan garis-garis penghubungku. Aku mulai yakin, khayalanku tak selamanya
salah dan dunia realistis juga tak selamanya kejam. Aku mulai menemukan kembali
tujuan hidupku. Tanpa sadar aku meneteskan air mataku, bersyukur pada Tuhan
telah dipertemukan orang itu, yang telah merubah hidupku. Tanpa aku
memilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar