Rabu, 19 Juni 2013

Titik Terang



Dunia mulai berkembang. Bumi yang aslinya tidak rata, semakin tambah tidak rata. Semakin semrawut dengan apa yang ditemukan manusia. Manusia semakin cerdas, semakin berkembang pemikirannya. Ya manusia, menemukan hal-hal baru yang dulu tak ada. Tak ada lagi kemustahilan. Manusia tak hanya membayangkan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang tapi sudah mulai menemukan garis-garis pembuktian. Manusia berkhayal, bermimpi, melakukan pembuktian dan menjadi kenyataan.  Itu manusia pada umumnya. Pada umumnya. Mereka cerdas, mereka bisa. Berbeda dengan aku. Sangat berbeda.

Waktu itu, aku masih menjadi manusia normal pada umumnya. Manusia normal  versiku sendiri. Mungkin istilah manusia normal versiku, berbeda dengan versi lainnya. Menurutku, manusia normal pasti memiliki suatu keinginan, impian, khayalan dan harapan. Itu aku. Dulu.


Bumi berputar, waktu pun ikut berjalan. Aku tumbuh semakin dewasa. Duniaku pun ikut berubah. Dulu aku,memakai baju putih abu-abu, kini aku tanpa seragam, menginjak dalam salah satu perguruan tinggi negeri ternama di negeri ibu pertiwi, setiap pagi. Seharusnya aku bangga, aku menjadi seorang yang diharapkan negeri. Ya,menjadi seorang sarjana. Lagi-lagi aku berbeda, aku merasa tak berguna di sini. Dunia baruku, mengubah segalanya. Dunia ini penuh dengan realistis. Bahh.. aku tak suka.

            Harapan Negara menjadi seorang sarjana. Hal itu mudah saja aku lakukan, aku lulus, wisuda, dapat ijazah. Selesai, aku menjadi sarjana, aku bisa bekerja. Apa iya semudah itu? Ilmu yang aku ambil tak semudah itu, begitu pula pasar kerjanya. Dunia realistis dimulai. Lagi-lagi aku harus berfikir realistis. Aku kehilangan arah, aku kehilangan tujuan. Aku tak mau bekerja, lantas aku harus menjadi apa? Aku punya cita-cita. Dulu. Apa iya aku bisa wujudkan sekarang. Meraih sebuah nobel. Setiap aku bercerita tentang apa cita-citaku ini,semua menertawakan. Lantas aku berfikir,realistis sekali lagi. Untuk lulus dan dapet kerja aja susah. Apalagi harus wujudkan keinginan mustahil itu. Sedikikt demi sedikit cita-citaku terkubur. Jauh dalam dibawah sana.

            Dunia kejam, benar-benar kejam. Tak hanya mengubur cita-cita mustahilku, tapi mengubur cita-citaku yang lain. Aku benar-benar gila. Semua berasa hampa. Rutinitasku setiap hari seakan tak berguna. Aku membuat tugas, aku membuat laporan yang tak terhitung jumlahnya seakan sia-sia. Parahnya, aku menjadi semacam robot yang tak bisa bebuat apa-apa. Aku diatur oleh suatu rutinitas yang aku sendiri tak mengerti apa maksudnya. Aku muak. Apakah ini suatu keadilan? Aku tak mengerti.

            Dunia memang fana. Tak ada titik jelas yang sanggup menentukan dimana kejelasannya. Tidak, itu hanya kata-kata seorang pecundang sepertiku. Aku, aku dan lagi lagi aku. Aku tak pernah bisa menikmati hidupku lagi. Keceriaan, impian, harapan, semua telah terkubur dalam-dalam. Berfikir realistis sekarang yang hanya aku bisa lakukan.

            Ditengah dunia relistis yang mulai membunuh perlahan akan mental dan semangat. Aku sering teringat masa-masa lalu. Masa-masa dimana aku penuh dengan kegembiraan, masa dimana aku bermimpi dan yakin akan menjadi suatu kenyataan. Masa dimana semua orang mendukungku dengan senyum tulus yang aku artikan sebagai sebuah doa dan harapan. Masa dimana aku mempunyai banyak orang yang aku sayang. Ahh.. masa yang tak ingin aku tinggalkan. 

            Kini, aku telah berada dalam masa yang berbeda, dunia yang tak lagi sama. Dunia yang mendekati kenyataan. Tak banyak aku temukan orang-orang yang tersenyum tulus dan mendengarkan dan cita-cita dan keinginan yang aku sampaikan. Mereka sibuk dengan dunia mereka, sendiri. Bagi mereka,celotehan tidak jelas tak pentinglah artinya. Tugas, laporan kelar, itu lebih utama. Aku membutuhkan seseorang. Aku membutuhkan penyemangat. Tapi, lagi-lagi itu siapa? Aku tak mengerti akan jawabnya.

            Perlahan, aku tetap melangkah menjalani hari-hariku. Sepi, hampa, tanpa harapan, tanpa kepastian. Tetap berdoa untuk  mendapatkan titik terang. Mencari tahu akan tujuan aku ada di dunia. Itu bukanlah hal yang mudah, aku harus bersaing dengan segala kenyataan yang memang benar adanya. Aku mulai tersadar. Hidup di dunia itu kenyataan. 

Tiba-tiba aku teringat, beberapa bulan lalu aku konsultasi ke dosen pembimbingku.  Masa itu aku masih tertutup akan dunia realistis, masih enggan menyinggung itu semua. Aku masih mengantunkan cita-citaku jauh disana. Masih ada cahaya yang aku temukan dari serpihan kegelapan. Aku berdiskusi banyak tentang pencapaian targetku untuk dapat wujudkan cita-cita konyolku. Seperti yang aku harapkan, dosen pembimbingku mendukungku. Tulus.

Beliau menasehati, masalah paling umum yang sering terjadi bagi mahasiswa biasanya adalah masalah percintaan. Waktu itu,aku menganggap itu angin lalu. Lagi-lagi masih terkait mimpi konyolku. Bagiku itu belum waktunya. Aku masih sibuk dalam dunia khayalku, aku belum terpengaruh dengan dunia realistis yang begitu kejam. Masih terbayang-bayang akan celotehku waktu masih berseragam abu-abu. Aku ingin menemukan pangeranku di Jepang, ketika aku menuntut ilmu di sana,tentunya dengan beasiswa.

            Lagi-lagi aku tak lagi bermimpi, aku masih dalam dunia realistis, yang entah sampai kapan aku akan siap menghadapinya. Apa tadi celotehku, mencari pangeran di Jepang? Lucu mungkin,terlalu berharap lebih tepatnya. Tapi, entah itu keinginanku dulu.

            Rasanya asyik, bercerita tentang apa itu yang namanya cinta, bercerita tentang orang yang disuka. Tapi dulu, ketika aku masih sibuk dengan dunia khayalanku,aku belum begitu peduli dengan dunia realistis,menurutku itu biasa aja. Aku masih terkekang dengan idealismeku, jodohku engga disini. Aku masih ingin bermimpi.

            Tidak, aku sudah tak dapat lagi bermimpi. Apa? Kuliah di Jepang? IP semesterku ini saja sudah aku pertanyakan. Apa kabar dengannya? Hancur, kataku dalam hati. Aku sempat opname di rumah sakit selama beberapa hari. Bukan sakit karena penyakit yang aku rasakan, akan tetapi, rasa sakitku kenapa Tuhan memberikanku ujian diwaktu-waktu seperti ini? Apa tidak dapat ditunda? Waktu banyak laporan dan tugas yang harus aku kerjakan. Ditambah waktu dimana dosen-dosen secara bebarengan memberikan kuis yang tentunya tak dapat aku kerjakan. Belum lagi, ketika aku belum begitu sembuh, aku masih harus mengerjakan soal-soal ujian tengah semester. Waktuku terbatas, aku masih harus menjaga kondisiku agar tak kembali sakit, tak kembali merepotkan orang-orang yang aku sayang, tapi aku tak tahu harus melakuan apa untuk membalas mereka.  Aku tambah tak yakin. Hati ini tambah sakit. Menyakiti semua orang yang aku sayang, tanpa bisa berbuat apa-apa.

            Kemudian aku berfikir, apa memang itu takdirku, aku tak boleh mendapatkan itu semua? Apa aku tak pantas? Ataukah aku masih kurang berdoa? Aku tak mengerti, tapi aku mulai merasakan dunia kenyataan sedikit demi sedikit telah membunuhku. Perlahan.

            Tepat pada masa-masa kritis ini, semua khayalan dan impian tak lagi dapat aku rasakan. Begitu pula khayalan tentang pencarian pangeran di Jepang pun mulai memudar. Seseorang tiba-tiba datang. Orang itu muncul, memutar balikkan prinsip yang sudah tertanam sejak lama. Entah ada apa dengan orang itu. 

            Semenjak orang itu datang, banyak hal bergejolak dalam diriku. Antara senang, bahagia, tapi masih bimbang. Bimbang akan semua khayalan yang sudah tertanam sejak lama, bimbang karena aku tak lagi menemukan jati diriku yang dulu. Harapan menemukan pangeran di Jepang seolah sirna, seakan berkata dari tubuh orang itu “tak perlu ke Jepang, akulah pangeran yang kau cari”. Lagi-lagi aku berkhayal. Yah, hobiku memang suka berkhayal. 

            Khayalan, mimpi dan cita-cita. Hadirnya orang itu, membuat aku mulai berani bermimpi. Mimpi kecil, aku kenal dia, menjadi teman akrabnya. Tidak, secara naluriah, aku berkata, jika dia memang imamku di surga, aku ingin mendapatkannya. Lagi-lagi aku berkhayal.

            Sekali dua kali kita bertemu, bertatap muka. Melempar senyum dan membalasnya. Hal kecil dan sangat sepele. Begitu berharga ketika aku jatuh cinta. Aku, aku jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta. Melupakan semua bangkangan pesan nasihat dari dosen pembimbingku dulu. Aku bertemu pangeranku, di sini, tidak di Jepang. Tidak di Jepang Tuhan. 

            Hadirnya sosok orang itu, menyadarkanku akan sikap khayalan dan realistis yang selama ini aku bimbangkan. Bersikap realistis tak selamanya buruk. Setidaknya aku merasakan indahnya cinta yang telah lama aku lupakan.

            Hari demi hari, hidupku seakan indah, walau aku belum mengenal orang itu secara mendalam, setidaknya aku merasakan aku ada di sini. Aku bahagia. Aku senang, aku gembira. Bebanku akan tujuan hidup seakan sirna. Aku mulai menyukai rutinitasku. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Aku telah berubah.

            Aku merasakan semangat pergi ke kampus. Aku tersenyum bahagia. Aku bercerita dengan teman-teman satu kampus. Aku suka orang itu. Teman-temanku ikut bergembira, bukan ikut senang atau apa, tapi ada bahan ledekan katanya. Aku tak peduli dengan itu semua. Aku bahagia. Aku melupakan dunia realistis yang selama ini aku khawatirkan. 

Orang itu tak hanya membuatku tersenyum senang, tersenyum bahagia. Perlahan aku mulai mengerti dan memahami akan dunia realistis. Dunia kelam menurutku dulu. Aku tak mengerti, ini kebetulan atau memang benar. Dunia realistis tak selamanya menyeramkan.

            Waktu berselang, waktu beganti. Entah karena apa, ada hal yang mengajakku untuk segera bersadar. Aku harus tahu siapa dia. Iya, siapa dia. Pelan-pelan aku mencari informasi tentangnya. Aku sadari, aku telah jatuh cinta, tapi bukan cinta yang seutuhnya. Aku masih membiarkan diriku membahana, untuk mencari tahu lebih lanjut tentang dia. Hal yang paling mendasar, ada siapa dibalik dirinya.

            Perlahan, aku masih bersenang. Satu dua informasi masih positif. Tak ada tanda-tanda ada orang lain dibalik dirinya. Aku girang. Namun, lagi-lagi dunia menuntutku untuk berfikir realistis, menyadari semua yang ada. Dunia penuh dengan kenyataan, bukan khayalan. Seharusnya aku terlebih dahulu sadar, siapa dia, bagaimana kedudukannya. Aku terlalu bodoh mencintai seseorang yang jelas menjadi bintang pujaan. Aku seharusnya hanya sekedar menyukainya, tanpa rasa lebih. Lagi-lagi seharusnya. Aku terlalu suka berkhayal. Aku lupa akan dunia realistis yang telah ada. Tak mungkin seorang pujaan wanita, sendiri dalam hidupnya. Tanpa diminta pasti para wanita sudah banyak yang bersedia menemaninya. Tentu saja wanita itu bukan wanita biasa. Tidak seperti aku, gadis kecil tak berguna. Sekali lagi aku tersadar, ini dunia realistis. Khayalanku tak lagi bermakna.

            Satu dua hari aku tak mengerti, aku patah hati. Hati in mungkin tidak terlalu sakit kehilangannya. Aku belum begitu mengenalnya. Tak sepantasnya aku harus terus memikirkan seseorang yang  jelas bukan seharusnya aku pikirkan. Aku bangkit, aku berusaha melupakannya. Namun, aku bersyukur diketemukan Tuhan dengan orang itu. Langsung tidak langsung, sadar atau tidak, aku belajar banyak dari dirinya. Aku menemukan sedikit titik terang dari dirinya. Aku merasa berterimakasih dengan orang itu. Rasa terima kasih yang aku sendiri tak yakin akan mengucapkan secara langsung dengannya.

            Garis-garis penghubung yang aku dulu kira sudah lenyap, perlahan mulai terlihat berwarna, bercahaya. Nama marga yang kebetulan sama, yang aku tak yakin apa maknanya, sudah aku kubur dalam. Bukan nama marga yang mengantarkan aku dengan pangeranku. Bukan pula hidung mancungnya. Orang itu, benar-benar mendidikku untuk bersikap dewasa, menghadapi dunia realistis tanpa meninggalkan dunia mimpiku. Aku juga tak tahu, bagaimana energi itu tiba-tiba ada.

Semenjak aku tahu, ada sosok istimewa dibalik orang yang aku suka, aku lantas sedikit berfikir realistis. Hidup itu butuh cinta. Ya, aku membutuhkan cinta. Aku kadang iri dengan mereka, tapi  aku lebih membutuhkan sosok imam keluarga yang akan mengantarkanku ke surga. Entah siapa orangnya, aku belum mengenalnya. Aku kurang tahu tepatnya. 

Mungkin, lagi-lagi aku berkhayal. Aku akan mendapatkannya. Aku akan mendapatkan orang itu. Bukan dia, tapi dia yang lainnya. Bukan perkara mudah aku mendapatkan orang yang memang ditakdirkan menuntunku ke surga. Tapi disinilah aku mulai menemukan garis-garis terang itu. Benar, aku harus mendapatkannya. Aku tidak hanya menemukan jalan untuk mendapatkan sosok seorang suami yang aku idamkan. Aku mendapat garis-garis penghubung dunia khayalku dengan dunia realistis. Aku mengingat pesan dari media “Jodoh itu tidak datang dengan sendrinya, melainkan harus dicari dengan usaha dan doa”. Aku mulai mengerti, apa maksud usaha disini. Aku harus melayakkan dan memantaskan diriku dengan sosok seorang itu. Tentu saja dengan usaha.

Khayalanku kini ada tujuannya. Aku tak lagi memikirkan diriku sendiri. Aku memikirkan calon imamku kelak. Aku tak mau kalah dengan suamiku, aku tak mau kalah dengan anak-anakku jika aku hanya berdiam disini,menikamati dunia realistis yang aku pun tak suka. Aku malu.  Aku harus menghadapinya.  Aku harus bisa wujudkan cita-citaku, mimpiku, khayalanku. Aku harus bisa, termasuk mendapatkan beasiswa studi S2 ke Jepang. Bukan itu saja, aku tak mau menyia-nyiakan hidupku di dunia. Aku harus bermanfaat untuk orang lain,  aku harus dapat menyumbang sesuatu untuk bumi ini. Semua mimpiku harus menjadi nyata.

Garis-garis yang aku pikir akan memudar, semakin jelas dan semakin bercahaya. Sikap penolakan dunia realistisku mulai sirna, aku mulai menikmati hidupku. Memulai mencari-cari garis penghubung lain yang akan mengantarkan pada titik terang. Aku mulai mengikuti berbagai lomba. Baru satu yang lolos seleksi, tapi itu tak memudarkan semangatku. Aku semakin yakin masih banyak didepan sana. Aku dapat bersaing, aku dapat menemukan penemuan baru, aku akan mendapatkan nobel itu.

Penawaran beasiswa yang terpampang di mading kampusku, aku iseng-oseng mencoba. Berkas-berkas aku lengkapi dan aku kirimkan tepat pada waktunya. Sebulan setelah itu, aku membuka web pemberi beasiswa. Aku tak percaya, namaku terpampang didepan sana, aku lolos tahap selanjutnya. Lagi aku menemukan garis-garis penghubungku. Aku mulai yakin, khayalanku tak selamanya salah dan dunia realistis juga tak selamanya kejam. Aku mulai menemukan kembali tujuan hidupku. Tanpa sadar aku meneteskan air mataku, bersyukur pada Tuhan telah dipertemukan orang itu, yang telah merubah hidupku. Tanpa aku memilikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar